Pesta Rakyat tersebut terdiri dari serangkaian ritual (pembacaan ayat-ayat al-Quran, do'a dan barzanji), pertunjukan seni tradisional (musik lesung, bambu, kecapi, dan biola), serta pemutaran video kehidupan sehari-hari di desa dan proses pembuatan irigasi (uraian teknis, lihat di bawah: PETANI SEBAGAI INSINYUR). Udara dingin malam di lereng puncak Gunung Saraung (1.600m) itu, sekitar 70 km dari Kota Makassar, tidak menghalangi ratusan penduduk desa menghadirinya, bahkan ada puluhan warga lain berjalan kaki beberapa kilometer dari beberapa dusun dan desa sekitar.
Acara itu difasilitasi dan diorganisir oleh Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo, salah satu organisasi lokal anggota jaringan INSIST, dan para petani desa setempat. Biaya pembangunan prasarana ini –yang mulai dikerjakan sejak Mei 2009 dan menghabiskan dana total hanya sekitar Rp 40 juta-- diperoleh dari swadaya warga sendiri serta sumbangan dana dari Dewan Mahasiswa Universitas Helsinki (DM-UH), Finlandia, dari penyisihan keuntungan Cafe Universitas yang mereka kelola.
Pembangunan prasarana pengairan ini adalah bagian dari satu program kerjasama tiga tahun (2009-2011) untuk pengembangan sumber-sumber pertanian berkelanjutan dan energi alternatif pedesaan antara SRP Payo-Payo dengan DM-UH, difasilitasi oleh SUSDEC-LPTP, anggota INSIST yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah. Selain dua orang aktivis perempuan dari DM-UH (Terhi Paikkala dan Ilona Kalliola) serta beberapa orang pengurus dan staf program SRP Payo-payo sendiri, turut hadir pula beberapa aktivis dari organisasi anggota dan mitra jaringan INSIST dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Flores, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta, serta anggota Dewan Pengurus INSIST dan staf Sekeratriat INSIST dari Yogyakarta. Mereka semua kebetulan berada disana setelah mengikuti satu lokakarya di Kota Makassar dua hari sebelumnya.
Selain prasarana irigasi mikro, program kerjasama SRP Payo-payo dan DM-UH ini juga telah menyelesaikan beberapa unit instalasi biogas sederhana (menggunakan plastik) dan digester biogas permanen (kontruksi beton) berkapasitas 9 m3 untuk beberapa rumah tangga di Tompobulu. Satu unit digester biogas serupa juga sudah diselesaikan di dataran rendah Desa Bonne-bonne, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, sekitar 400 km dari kota Makassar. Satu unit lagi direncanakan segera di bangun di Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, sekitar 200 km dari Makassar, selain satu 'kampus' Sekolah Petani dan lahan percontohan pertanian organik di desa tersebut. Warga Desa Kompang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sekitar 120 km dari Makassar, juga sudah menyatakan minat untuk membangun prasarana yang sama di desa mereka yang pernah tertimpa bencana longsor pada tahun 2008, sebagai bagian dari kerjasama antara SRP Payo-Payo, SUSDEC-LPTP, dan Program Pengurangan Resiko Bencana (DRR) CORDAID Belanda.
'Prakarsa dan tindakan kecil' para petani Tompobulu ini mungkin tak seheboh perseteruan 'cicak vs buaya' di Jakarta, yang hingga kini terus merajai pemberitaan media massa nasional. Namun, yang pasti, masyarakat Tompubulu senang dan bangga dengan apa yang telah dan akan terus mereka lakukan bagi desanya. Setidaknya pada skala desa, mereka mencoba menjawab apa yang dirisaukan Mahmudi tadi, memecahkan satu masalah berkepanjangan dengan usaha, tangan dan keringat mereka sendiri, justeru di saat pemerintah pusat begitu mudahnya menggelontorkan trilyunan rupiah bagi para koruptor. Prakarsa itu terbukti mampu menggerakkan banyak petani di desa-desa lain untuk mulai pula menempuh jalan alternatif tersebut di desa masing-masing. Bahkan juga para aktivis dari daerah lain yang hadir menyaksikannya. Hedar Laudjeng dari BANTAYA Palu, langsung membuat kesepakatan dan mengajak Anton, pakar teknis energi alternatif dari LPTP Solo, langsung ke Lembah Donggala di Sulawesi Tengah, untuk segera melakukan kajian penjajagan (assessment) selama 10 hari sebagai langkah awal memulai prakarsa yang sama bagi mayarakat adat lokal disana. Apridon (YDRI Manado) serta Solikhin dan Udin (MEDIKRA Buton) mengakui bahwa apa yang mereka saksikan di Tompobulu telah “...memberi inspirasi apa dan bagaimana yang seharusnya kami mulai kerjakan secara lebih nyata bersama para petani lokal”. Lebih nyata lagi, Benito Kissya, petani muda dari Pulau Haruku, Maluku Tengah, segera setelah turun gunung dari Tompobulu, langsung sibuk membeli beberapa peralatan untuk pembuatan instalasi plastik biogas di kota Makasar. Ketika berpisah, dengan peluh membasahi tubuhnya ia berkata: “Beta bisa membuat biogas itu. Beta su diskusi banyak dengan Pak Tande. Beta tau bagaimana cara membuatnya. Beta akan buat di Haruku!”
Ya, tindakan-tindakan nyata lah yang memicu terjadinya perubahan, sekecil apapun.
PETANI SEBAGAI INSINYUR
Prasarana irigasi mikro di Tompobulu itu mengambil sumber airnya dari Sungai Batu Mompo yang tak pernah kering di musim kemarau sekalipun, terletak di balik lereng puncak Saraung yang bersebelahan dengan hamparan sawah-ladang di tepi pusat pemukiman desa. Satu bendungan kecil (lebar 12 meter dan tinggi 1,5 meter, dengan pintu air selebar 1 meter) dibangun melintang badan sungai. Air dialirkan dengan teknik gravitasi, mengikuti kontur dan kemiringan lereng, melalui pipa-pipa paralon (PVC) sepanjang 4000 meter ke dua bak penampung di tepi hamparan sawah Acce (8 hektar) dan di tepi hamparan sawah Lompo Lembang (10 hektar), dua dari 5 hamparan besar sawah yang saling terpisah di seluruh Tompobulu. Berdasarkan perhitungan debit air sungai, baru dua hamparan itulah yang mampu diairi secara terus-menerus oleh saluran irigasi mikro tersebut, sehingga manfaat langsungnya telah dinikmati oleh 43 rumah-tangga (177 orang) petani setempat yang memiliki lahan pada dua hamparan tersebut.
Semua gagasan dan rancangan teknis irigasi mikro itu dikerjakan secara swadaya oleh para petani sendiri, dengan bimbingan teknis dari SUSDEC-LPTP. Pak Tande, salah satu anggota Kelompok Tani Tompobulu adalah 'insinyur kaki telanjang' (barefoot engineers) yang memimpin seluruh pekerjaan. Lelaki separuh baya ini, bersama beberapa orang petani lokal lainnya, pernah magang pertanian organik dan ketrampilan teknis energi alternatif selama beberapa minggu di LPTP Solo dan beberapa desa pertanian di Jawa tengah (Klaten, Sragen, dan Boyolali).
Mereka belajar tentang ekosistem mikro lahan pertanian basah dan kering, memproduksi bakteri pembuatan pupuk organik, mengembangkan penangkal hama alamiah, memuliakan benih, membangun instalasi biogas, dan memodifikasi kompor berbahan-bakar minyak biji jarak (Jathropa curcas) dan pala-pala. Pengetahuan dan ketrampilan teknis dari magang itulah yang kini mereka terapkan di pedalaman Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Hasil dan dampaknya pun mulai tampak dan sangat signifikan.
Hasriadi Ary dan Melanie Febrista, dua orang pengorganisir petani di Tompobulu, mencatat terjadinya kenaikan siginifikan dalam produksi petani setempat sejak saluran irigasi mikro itu mulai berfungsi pada bulan Juni 2009. Dengan menerapkan pola-pola pertanian organik, petani setempat mengakui kini mampu memanen hasil 1,5 – 2 karung gabah dari setiap 10 liter benih, padahal sebelumnya paling banyak hanya 1 karung. Petani yang menanam kacang-tanah mengakui kini mampu memanen hasil 100-120 liter kacang dari setiap 10 liter benih, mengalami kenaikan sekitar 30-50% dari sebelumnya yang hanya mampu memanen 70-80 liter. Mereka juga mencatat bahwa beberapa rumah-tangga yang telah menggunakan biogas sebagai bahan bakar utama dapur mereka, telah mengurangi penebangan pohon (untuk kayu bakar) rata-rata sampai 10 pohon per minggu. Jelas ini sangat membantu melestarikan pepohonan dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Saraung-Bantimurung. Atikah, pengorganisir SRP Payo-payo yang bekerja dengan petani di Bonne-bonne, Sulawesi Barat, juga melaporkan bahwa para petani disana sudah mampu memproduksi sendiri bakteri pupuk organik (Lacto basillus), bahkan menjual kelebihan produksinya kepada petani lain, menjadi tambahan pendapatan baru bagi mereka. Secara keseluruhan, Hasriadi dan Melanie menghitung bahwa hanya dalam beberapa bulan saja, belanja pangan dan energi pada rumah tangga petani lokal yang telah menerapkan semua pengetahuan dan ketrampilan baru mereka itu, kini mulai berkurang sampai hanya sekitar 40-50%, turun sekitar 10% dari sebelumnya.
Kini, Pak Tande dan kawan-kawan mulai mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada warga petani lain sedesanya dan juga desa-desa lain yang membutuhkan, sehingga semakin banyak 'petani insinyur lokal' di pedalaman Sulawesi. Inilah salah satu tujuan utama dari Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-payo yang diprakarsai pendiriannya pada tahun 2007 oleh beberapa aktivis dan peneliti dari Komunitas Ininnawa di Makassar.
Sumber: INSIST. Silakan juga mengunjungi: http://insist.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar