Selama Datang

SELAMAT DATANG DAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Minggu, 12 September 2010

Getah Damar Sando Batu: Lama Ditinggalkan, Kini Menetes Lagi

Oleh Basri Andang



Sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, hasil damar dari Sando Batu telah terkenal. Sayangnya, produksinya terhenti akibat permainan dagang para tengkulak. Setelah telantar selama puluhan tahun, kini, getah damar Sando Batu “menetes” kembali. Pasalnya, petani berhasil membuka jaringan pasar dengan eksporter yang menawarkan pesanan produksi paling sedikit 20 ton per bulan.

Kejayaan damar di wilayah Sando Batu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan mencapai puncaknya pada tahun 1930-an atau pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Ketika itu, wilayah itu terkenal sebagai pusat niaga getah damar, sampai-sampai transaksi damar dilakukan di tengah hutan, yang oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Pasa’ Bombo’ atau pasar di dalam hutan. Kala itu, siang-malam transaksi jual-beli damar sangat ramai di dalam kawasan hutan. Pedagang dari berbagai daerah pun berdatangan, terutama dari Toraja dan Luwu. Masyarakat juga telah mengembangkan pembibitan dan penanaman damar di sekitar perkampungan dengan maksud memudahkan masyarakat melakukan penyadapan. Upaya ini diawali dengan pembuatan lokasi percontohan pembibitan damar oleh mantri kehutanan yang bernama Nu’mang pada tahun 1930.

Bandulu, pemuka adat Sando Batu, mengakui bahwa kebijakan Pemerintah Belanda kala itu sangat mendukung dengan memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Meskipun mereka boleh memanfaaatkan pohon damar, namun pengelolaannya tetap diatur secara adat, sehingga hasil hutan itu bisa tetap terpelihara. Konon, sebelum memasuki hutan untuk menyadap damar, masyarakat melaksanakan ritual penyembelihan tiga ekor ayam. Maksudnya, permohonan izin dan penghormatan bagi leluhur yang hidup di hutan. Selain maksud tersebut, daging ayam itu juga menjadi bekal makanan selama di hutan karena biasanya mereka bermalam hingga beberapa hari di hutan.

Sejak tahun 1980-an, aktivitas penyadapan damar di wilayah Sando Batu terhenti akibat terputusnya pasar. Masyarakat pun perlahan meninggalkan hasil hutan tersebut, dan hanya memanfaatkan damar untuk alat penerangan yang disebut pelita. Kala itu, minyak tanah dan bahan bakar minyak lainnya sangat susah didapat, apalagi di daerah pegunungan seperti di wilayah masyarakat adat Sando Batu. Potensi damar yang mampu menyokong penerangan masyarakat telah memicu jiwa bisnis seorang warga bernama Ambe Salassa. Ia berhasil memperoleh pasaran di luar kampung. Namun, setelah ia tiada, tak ada lagi pengusaha yang mengetahui seluk beluk pasar damar. Pada saat itu, masyarakat masih melakukan penyadapan dengan cara tradisional yang kurang memperhatikan keberlanjutan hidup pohon sehingga banyak pohon damar yang mati. Masyarakat secara asal melukai kulit pohon damar dengan prinsip yang penting keluar getahnya. Ternyata, cara itu mengakibatkan kematian pohon damar dan menghentikan aktivitas masyarakat penyadap getah.

Lalu, tahun 2006 lalu, seorang pedagang pengumpul dari ibukota Kabupaten Sidrap menawarkan pembelian damar, yang langsung direspon oleh masyarakat. Dalam waktu relatif singkat, tidak sampai sebulan masyarakat sudah mampu mengumpulkan sekitar dua ton getah damar. Lagi-lagi, masyarakat harus menelan pil pahit tata niaga damar karena tertipu sang pedagang. Dua ton damar Sando Batu yang diangkut pedagang itu belum dibayar, sampai sekarang.

Jatuh bangunnya usaha damar masyarakat adat Sando Batu, membawa trauma yang amat dalam bagi petani damar, dan bukan perkara mudah mengembalikan motivasi mereka untuk kembali mendamar. Belum lagi, adanya sejumlah diskriminasi oleh pemerintah setempat dan ketertinggalan pembangunan yang dirasakan masyarakat Sando Batu menambah beban hidup masyarakat yang masih mempertahankan adat sebagai landasan hidup itu.

Menurut Pelaksana Tugas Sekpel AMAN Sulsel Sirajuddin, pihaknya berupaya mendorong kemandirian ekonomi masyarakat adat Sando Batu. Dimulai dengan bagaimana membangkitkan semangat petani damar agar tumbuh kepercayaan diri bahwa mereka mampu mandiri secara ekonomi dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam lokalnya secara langsung dan terorganisasi.

Dengan fasilitasi AMAN Sulsel, terbentuk sebuah kelompok usaha petani damar bernama Temmapole yang berlokasi di Dusun Lengke, Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap yang kemudian menjadi pemancing lahirnya kelompok petani damar di empat dusun lainnya. Kelompok ini akan lebih kuat jika difasilitasi dan dipayungi lembaga ekonomi di tingkat desa.

Yang menggembirakan adalah petani damar Sando Batu sudah membuka akses jaringan pasar, yakni bekerja sama dengan dua perusahaan eksporter damar di Makassar yaitu PT Gold dan CV Indra Jaya, selain PT Bumi Aman Lestari (PT BAL) yang selama ini memfasilitasi peningkatan sumber daya manusia dan akses pasar komoditi masyarakat adat. Pihak PT Gold, misalnya, siap membeli damar masyarakat sebanyak 20 ton per bulan dan memberikan jaminan kesinambungan pembelian. Harga pun disepakati sesuai kualitas damar yang terdiri atas: damar putih (kelas AA) yang dihargai Rp 4.000-5.000 ribu per kilogram dan damar asalan (kelas WS) dihargai antara Rp 3.000-4.000 ribu per kilogram. Sedangkan dengan CV Indra Jaya disepakati untuk menerima damar Sando Batu berapa pun jumlahnya. Adapun penetapan harga sesuai kualitas, seperti damar asalan dibeli dengan harga Rp 4.000-5.500 per kilogram, sedangkan damar loba bersih dibeli seharga Rp 6.000-7.500 per kilogram.

Selain mendapatkan informasi harga jenis damar yang umum, masyarakat Sando Batu mendapatkan informasi harga jenis damar berkualitas tinggi dan harganya pun mahal, sekitar Rp 20 ribu per kilogram, yaitu jenis dama-dama. Jenis ini di wilayah Sando Batu lumrah disebut dama siallo yang banyak tumbuh hampir di seluruh wilayah Sando Batu, bahkan banyak tersebar di sekitar perkampungan, terutama di dataran rendah.
Menurut Ketua LKMD Leppangeng Syamsuddin, setelah terbukanya akses pasar, motivasi warga kini bangkit kembali. Apalagi banyak pedagang besar yang memberikan penawaran secara langsung kepada para petani. “Ini menunjukkan bahwa prospek pasar damar Sando Batu cukup besar, dan terbuka peluang bagi petani damar Sando Batu untuk meraih kejayaan damar yang lama hilang,’’ tambahnya. Harapannya, apa yang telah dilakukan AMAN Sulsel tersebut dapat memandirikan masyarakat adat secara ekonomi dan mampu mengembalikan kejayaan damar Sando Batu. Semoga, getah damar Sando Batu dapat menetes lagi sehingga pundi-pundi emas para petani damar pun akan menumpuk lagi.

Dimuat Majalah Kombinasi Edisi 23 Februari 2008. www.kombinasi.net

Sabtu, 11 September 2010

Pesta Rakyat Tompobulu: SEKOLAH PETANI MERINTIS PERUBAHAN

Pesta Rakyat tersebut terdiri dari serangkaian ritual (pembacaan ayat-ayat al-Quran, do'a dan barzanji), pertunjukan seni tradisional (musik lesung, bambu, kecapi, dan biola), serta pemutaran video kehidupan sehari-hari di desa dan proses pembuatan irigasi (uraian teknis, lihat di bawah: PETANI SEBAGAI INSINYUR). Udara dingin malam di lereng puncak Gunung Saraung (1.600m) itu, sekitar 70 km dari Kota Makassar, tidak menghalangi ratusan penduduk desa menghadirinya, bahkan ada puluhan warga lain berjalan kaki beberapa kilometer dari beberapa dusun dan desa sekitar.
Acara itu difasilitasi dan diorganisir oleh Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo, salah satu organisasi lokal anggota jaringan INSIST, dan para petani desa setempat. Biaya pembangunan prasarana ini –yang mulai dikerjakan sejak Mei 2009 dan menghabiskan dana total hanya sekitar Rp 40 juta-- diperoleh dari swadaya warga sendiri serta sumbangan dana dari Dewan Mahasiswa Universitas Helsinki (DM-UH), Finlandia, dari penyisihan keuntungan Cafe Universitas yang mereka kelola.

Pembangunan prasarana pengairan ini adalah bagian dari satu program kerjasama tiga tahun (2009-2011) untuk pengembangan sumber-sumber pertanian berkelanjutan dan energi alternatif pedesaan antara SRP Payo-Payo dengan DM-UH, difasilitasi oleh SUSDEC-LPTP, anggota INSIST yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah. Selain dua orang aktivis perempuan dari DM-UH (Terhi Paikkala dan Ilona Kalliola) serta beberapa orang pengurus dan staf program SRP Payo-payo sendiri, turut hadir pula beberapa aktivis dari organisasi anggota dan mitra jaringan INSIST dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Flores, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta, serta anggota Dewan Pengurus INSIST dan staf Sekeratriat INSIST dari Yogyakarta. Mereka semua kebetulan berada disana setelah mengikuti satu lokakarya di Kota Makassar dua hari sebelumnya.

Selain prasarana irigasi mikro, program kerjasama SRP Payo-payo dan DM-UH ini juga telah menyelesaikan beberapa unit instalasi biogas sederhana (menggunakan plastik) dan digester biogas permanen (kontruksi beton) berkapasitas 9 m3 untuk beberapa rumah tangga di Tompobulu. Satu unit digester biogas serupa juga sudah diselesaikan di dataran rendah Desa Bonne-bonne, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, sekitar 400 km dari kota Makassar. Satu unit lagi direncanakan segera di bangun di Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, sekitar 200 km dari Makassar, selain satu 'kampus' Sekolah Petani dan lahan percontohan pertanian organik di desa tersebut. Warga Desa Kompang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sekitar 120 km dari Makassar, juga sudah menyatakan minat untuk membangun prasarana yang sama di desa mereka yang pernah tertimpa bencana longsor pada tahun 2008, sebagai bagian dari kerjasama antara SRP Payo-Payo, SUSDEC-LPTP, dan Program Pengurangan Resiko Bencana (DRR) CORDAID Belanda.

'Prakarsa dan tindakan kecil' para petani Tompobulu ini mungkin tak seheboh perseteruan 'cicak vs buaya' di Jakarta, yang hingga kini terus merajai pemberitaan media massa nasional. Namun, yang pasti, masyarakat Tompubulu senang dan bangga dengan apa yang telah dan akan terus mereka lakukan bagi desanya. Setidaknya pada skala desa, mereka mencoba menjawab apa yang dirisaukan Mahmudi tadi, memecahkan satu masalah berkepanjangan dengan usaha, tangan dan keringat mereka sendiri, justeru di saat pemerintah pusat begitu mudahnya menggelontorkan trilyunan rupiah bagi para koruptor. Prakarsa itu terbukti mampu menggerakkan banyak petani di desa-desa lain untuk mulai pula menempuh jalan alternatif tersebut di desa masing-masing. Bahkan juga para aktivis dari daerah lain yang hadir menyaksikannya. Hedar Laudjeng dari BANTAYA Palu, langsung membuat kesepakatan dan mengajak Anton, pakar teknis energi alternatif dari LPTP Solo, langsung ke Lembah Donggala di Sulawesi Tengah, untuk segera melakukan kajian penjajagan (assessment) selama 10 hari sebagai langkah awal memulai prakarsa yang sama bagi mayarakat adat lokal disana. Apridon (YDRI Manado) serta Solikhin dan Udin (MEDIKRA Buton) mengakui bahwa apa yang mereka saksikan di Tompobulu telah “...memberi inspirasi apa dan bagaimana yang seharusnya kami mulai kerjakan secara lebih nyata bersama para petani lokal”. Lebih nyata lagi, Benito Kissya, petani muda dari Pulau Haruku, Maluku Tengah, segera setelah turun gunung dari Tompobulu, langsung sibuk membeli beberapa peralatan untuk pembuatan instalasi plastik biogas di kota Makasar. Ketika berpisah, dengan peluh membasahi tubuhnya ia berkata: “Beta bisa membuat biogas itu. Beta su diskusi banyak dengan Pak Tande. Beta tau bagaimana cara membuatnya. Beta akan buat di Haruku!”

Ya, tindakan-tindakan nyata lah yang memicu terjadinya perubahan, sekecil apapun.


PETANI SEBAGAI INSINYUR

Prasarana irigasi mikro di Tompobulu itu mengambil sumber airnya dari Sungai Batu Mompo yang tak pernah kering di musim kemarau sekalipun, terletak di balik lereng puncak Saraung yang bersebelahan dengan hamparan sawah-ladang di tepi pusat pemukiman desa. Satu bendungan kecil (lebar 12 meter dan tinggi 1,5 meter, dengan pintu air selebar 1 meter) dibangun melintang badan sungai. Air dialirkan dengan teknik gravitasi, mengikuti kontur dan kemiringan lereng, melalui pipa-pipa paralon (PVC) sepanjang 4000 meter ke dua bak penampung di tepi hamparan sawah Acce (8 hektar) dan di tepi hamparan sawah Lompo Lembang (10 hektar), dua dari 5 hamparan besar sawah yang saling terpisah di seluruh Tompobulu. Berdasarkan perhitungan debit air sungai, baru dua hamparan itulah yang mampu diairi secara terus-menerus oleh saluran irigasi mikro tersebut, sehingga manfaat langsungnya telah dinikmati oleh 43 rumah-tangga (177 orang) petani setempat yang memiliki lahan pada dua hamparan tersebut.

Semua gagasan dan rancangan teknis irigasi mikro itu dikerjakan secara swadaya oleh para petani sendiri, dengan bimbingan teknis dari SUSDEC-LPTP. Pak Tande, salah satu anggota Kelompok Tani Tompobulu adalah 'insinyur kaki telanjang' (barefoot engineers) yang memimpin seluruh pekerjaan. Lelaki separuh baya ini, bersama beberapa orang petani lokal lainnya, pernah magang pertanian organik dan ketrampilan teknis energi alternatif selama beberapa minggu di LPTP Solo dan beberapa desa pertanian di Jawa tengah (Klaten, Sragen, dan Boyolali).
Mereka belajar tentang ekosistem mikro lahan pertanian basah dan kering, memproduksi bakteri pembuatan pupuk organik, mengembangkan penangkal hama alamiah, memuliakan benih, membangun instalasi biogas, dan memodifikasi kompor berbahan-bakar minyak biji jarak (Jathropa curcas) dan pala-pala. Pengetahuan dan ketrampilan teknis dari magang itulah yang kini mereka terapkan di pedalaman Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Hasil dan dampaknya pun mulai tampak dan sangat signifikan.

Hasriadi Ary dan Melanie Febrista, dua orang pengorganisir petani di Tompobulu, mencatat terjadinya kenaikan siginifikan dalam produksi petani setempat sejak saluran irigasi mikro itu mulai berfungsi pada bulan Juni 2009. Dengan menerapkan pola-pola pertanian organik, petani setempat mengakui kini mampu memanen hasil 1,5 – 2 karung gabah dari setiap 10 liter benih, padahal sebelumnya paling banyak hanya 1 karung. Petani yang menanam kacang-tanah mengakui kini mampu memanen hasil 100-120 liter kacang dari setiap 10 liter benih, mengalami kenaikan sekitar 30-50% dari sebelumnya yang hanya mampu memanen 70-80 liter. Mereka juga mencatat bahwa beberapa rumah-tangga yang telah menggunakan biogas sebagai bahan bakar utama dapur mereka, telah mengurangi penebangan pohon (untuk kayu bakar) rata-rata sampai 10 pohon per minggu. Jelas ini sangat membantu melestarikan pepohonan dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Saraung-Bantimurung. Atikah, pengorganisir SRP Payo-payo yang bekerja dengan petani di Bonne-bonne, Sulawesi Barat, juga melaporkan bahwa para petani disana sudah mampu memproduksi sendiri bakteri pupuk organik (Lacto basillus), bahkan menjual kelebihan produksinya kepada petani lain, menjadi tambahan pendapatan baru bagi mereka. Secara keseluruhan, Hasriadi dan Melanie menghitung bahwa hanya dalam beberapa bulan saja, belanja pangan dan energi pada rumah tangga petani lokal yang telah menerapkan semua pengetahuan dan ketrampilan baru mereka itu, kini mulai berkurang sampai hanya sekitar 40-50%, turun sekitar 10% dari sebelumnya.

Kini, Pak Tande dan kawan-kawan mulai mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada warga petani lain sedesanya dan juga desa-desa lain yang membutuhkan, sehingga semakin banyak 'petani insinyur lokal' di pedalaman Sulawesi. Inilah salah satu tujuan utama dari Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-payo yang diprakarsai pendiriannya pada tahun 2007 oleh beberapa aktivis dan peneliti dari Komunitas Ininnawa di Makassar.

Sumber: INSIST. Silakan juga mengunjungi: http://insist.or.id/

Pelatihan Video Komunitas: 4 DESA DI MATA ANAK MUDA

Oleh: Roem Topatimasang & Donito

Awalnya sederhana, pelatihan ini sekedar menularkan pengalaman bagaimana memanfaatkan alat-alat rekam audio visual yang sudah tak asing lagi untuk penduduk desa. Mulai dari Handphone yang dilengkapi Fitur rekam gambar dan video, Digital Camera, hingga Video Camera. Alat-alat canggih ini bukan lagi barang "tak terjangkau", bahkan untuk Handphone ber-fitur camera, cenderung bertaburan di desa-desa mulai dari harga dan merk biasa hingga yang terkenal dan lumayan mahal. Begitupun dengan Digital Camera dan Video Camera. Alat dan fitur di dalamnya itu selama ini lumayan bermanfaat untuk mengabadikan peristiwa pribadi dan keluarga. Bagaimana dengan memanfaatkan alat rekam Audio Visual itu untuk pendidikan dan kepentingan bersama? " Saya baru tahu rekaman di HP saya bisa jadi film yang bisa ditonton masyarakat dan jadi bahan diskusi", kata Ook, anak muda pemburu babi dari desa Lolo Kecil.

VIDEO KOMUNITAS

"Kalau seperti yang kita pelajari ini, kedepan kita bisa bikin sendiri rasanya, karena alatnya ada semua", komentar Yanda dan Raphita, 2 dari 6 perempuan yang tak kalah aktif selama pelatihan. Komentar itu 100% benar. Tak ada yang sulit dalam membuat Video Komunitas. Jika diurutkan, proses pembuatan video komunitas sesungguhnya hal mudah mereka praktikkan.

APA SAJA PROSESNYA? Pertama: Merencanakan Tema film dan Sasaran penontonnya. "ah..asal bukan pilem bert-tema Luna Maya, sasarannya semua masyarakat ajalah", begitu ujar Poni yang disambut gelak tawa rekan-rekannya. Kedua: menyusun cerita dan rencana tampilan gambarnya alias Story Board. "ini kami juga bisa, tapi susahnya kami nggak bisa menggambar, jadi story board-nya kotak-kotak diisi tulisan ajalah,". Kata Sep dari desa Selampaung. Ketiga : pengambilan gambar. "haa..ini yang saya tunggu, langsung jepret dan shoting saja," kata Lena dari desa Tanjungsyam. Pernyataan Lena memang benar, apa susahnya pengambilan gambar, apalagi kita sering motret dan shooting pakai handphone. Yang harus dipelajari adalah tehnik dasar saja, misalnya: gambar harus tenang (steady), gerakan kamera ke kiri atau kanan (Pan Left/Right) yang memang diperlukan namun tetap fokus dan relevan dengan tema film. Yang tak kalah penting adalah pengambilan gambar saat adegan wawancara dengan narasumber. Apa yang ditanyakan, siapa yang ditanya, dimana shootingnya, berapa banyak pertanyaanya. Lalu, perlu juga pembuat video berlatih mengukur seberapa terang cahaya yang diperlukan saat shooting, dan seberapa kuat suara yang harus terekam berdasarkan kemampuan rekam alat yang kita pakai. Keempat: proses editing. Pada tahap ini, dibutuhkan peserta dengan kemampuan dasar penggunaan komputer dan berlatih dengan piranti lunak untuk editing. dalam proses inilah kesatuan gambar, suara pokok hasil rekaman, suara pengisi sesuai tema (narasi), dan suara-suara tambahan untuk ilustrasi (backsound) diolah menjadi satu-kesatuan.

Usai melatih empat proses utama, para peserta kemudian mencobanya dengan praktik selama 2 hari dalam proses shooting dan editing. Hasilnya, masing-masing desa membuat 1 film dan ditonton ramai-ramai di desa tersebut pula. Dari Desa Talang Kemuning film "Kayu Manis", desa Lolo Lecil "Berburu Hama Babi", desa Selampaung film "Potensi Wisata Desa", desa Tanjungsyam film "Mendirikan Rumah Kami Setelah Gempa Bumi". Ramai-ramai masyarakat menonton film tentang desa mereka. Yang lebih ramai lagi adalah peristiwa setelah menonton filmnya. Ada yang masih asyik dengan pembicaraan tentang kelucuan orang-orang yang acting dalam film. Ada yang mulai membahas tentang apa yang perlu dan apa yang tidak perlu di shooting menurut mereka, tapi ada pula yang membahasa benar tidaknya isi tema film yang mereka tonton. Bahkan, satu dari perangkat desa mulai angkat bicara, " kalau Kulit Kayu Manis dulu sempat menjadi primadona hasil kebun kita, kenapa sekarang merosot jauh, apa kualitas hasil dari desa kita menurun, atau memang konsumen diluar sana mulai tak menggunakan kulit manis lagi, atau malah pemerintah jangan-jangan tidak serius mengontrol harga produk ini ya, kita harus bagaimana ini?

Hmm..akhirnya Video ini tak sekedar jadi tontonan saja rupanya.
Sumber: INSIST. Silakan juga mengunjungi: http://insist.or.id/